Terlambat Tiga Tahun

Terlambat Tiga Tahun

Gemetar rasanya. Pesan itu ternyata sudah dikirim hampir tiga tahun lalu. Baru pekan lalu saya mengetahuinya. Secara kebetulan saya membukanya. Dari seorang teman lama. Dari negara yang berbeda. \"\"Dalam pesan itu, dia bertanya… “Azuro, apakah kamu sudah dapat kabar tentang Y?” Pekan lalu, saya baru membalasnya. Hampir tiga tahun kemudian. “Hi K, apa kabar? Ada apa dengan Y?” Dia pun menjawab dengan tenang. “Aku baik-baik saya. Terima kasih. Tentang Y, tolong jangan terlalu terkejut. Tapi dia telah meninggal tiga tahun lalu. Karena kanker pankreas.” Gemetar rasanya. “Ya Tuhan…” Begitu ketik saya selanjutnya. K melanjutkan chat… “Itulah mengapa aku mencoba menghubungimu!” Gemetar rasanya. Bola komunikasi pun bergulir. Setelah begitu lama, saya kembali berbicara dengan teman-teman lama. Semua di negara yang berbeda. Bertahun-tahun lamanya kami tidak berbicara. Sekarang kami berbicara langsung dari hati ke hati. Bagi teman-teman itu, ini kabar sedih lama. Mereka semua sudah pulih dari duka. Bagi saya, entah bagaimana rasanya. Tiga tahun kemudian, baru mengetahuinya… Kata teman-teman, Y tegar sampai akhir. Dia melawan kanker itu. Dia sangat kuat. Dia akhirnya meninggal pada 12 Mei 2016. Hanya sekitar dua pekan setelah ulang tahun ke-42. Perasaan ini begitu bingung. Sedih sekali. Menyesal sekali. Terlambat sekali. Bertahun-tahun tak pernah berkomunikasi. Teman-teman terus berbagi cerita. Mereka bahkan menyampaikan pesan. “Kami rasa dia (Y) sangat berterima kasih bahwa kalian pernah bersama…” *** Hingga dua puluh tahun lalu, kami memang bersama. Kenalan di kafetaria. Saya kerja di sana, dia setiap hari makan di sana. Kami sama-sama sendiri di negeri orang. Saling menemani. Bahagia, berantem, bahagia. Dia lulus duluan, cum laude. Lalu pulang duluan ke negerinya. Saya lulus enam bulan kemudian. Lalu pulang. Walau tinggal di belahan bumi yang berbeda, kami saling mengunjungi. Dia ke sini. Saya ke sana. Tapi tidak lama. Setelah itu, kami punya hidup sendiri-sendiri. Komunikasi perlahan berkurang, lalu berhenti. Komunikasi dengan teman-teman lain ikut perlahan berkurang, lalu berhenti. Waktu berlalu begitu cepat. Sekarang, tidak ada lagi kesempatan berbicara, apalagi bertemu. Hidup ini memang aneh. Kita tak pernah tahu apa yang akan terjadi. R, salah satu sahabat Y, meminta saya untuk mengenang segala kebaikannya. R ini dulu memang seperti kakak, seperti ibu. Selalu menenangkan, mendamaikan. Ketika Y dan saya saling sungut. R terus mengingatkan kebaikan. “Ini memang menyedihkan, tapi kita harus menerimanya. Walau hidupnya pendek, Y memiliki hidup yang indah. Aku sangat bangga padanya.” R juga menyampaikan bahwa lewat kepergiannya, seolah Y meninggalkan begitu banyak pesan. Sekarang, semua yang dia kenal kembali saling bicara. Termasuk yang jauh seperti saya. “Kita semua dulu adalah teman. Dan sekarang pun kita masih teman. Aku kira Y menginginkan ini terjadi. Dia selalu peduli pada teman-temannya.” Sejak hari sedih itu, setiap tahun R dan teman-teman mengirim bunga. Saya minta tolong pada R, 12 Mei nanti saya ingin ikut serta. Dan kita teman-teman akan berjanji untuk kembali berkomunikasi. Berusaha meluangkan waktu untuk bertemu, walau terpisah jauh. Selamat jalan Y-chan. Mohon maaf atas segala kesalahan. Kami semua kehilangan kamu. Tapi kami semua kembali saling bertemu… (*)  

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: